Belajarlah dari Umar bin Khattab dalam Sejarah Pembukuan Al-Quran

Belajarlah dari Umar bin Khattab dalam Sejarah Pembukuan Al-Quran - Mencetuskan ide baru yang belum pernah ada—apalagi dalam masalah agama— atau bisa dibilang melakukan pembaharuan, bukan berarti merusak pondasinyaOleh: Bana FatahillahSELAIN Zaid bin Tsabit yang namanya tercatat sebagai ‘peran utama’ dalam sejarah pembukuan al-Qur`an, nama Umar bin Khattab pun tidak bisa kita lepaskan dari kejadian penuh bersejarah Ini.Sebagaimana yang kita ketahui, pada awal masa kenabian, al-Qur`an sudah ditulis oleh para sahabat (penulis wahyu) atas perintah langsung dari Nabi. Namun tulisan ini masih dalam keadaan terpencar di berbagai media tulis pada masa itu, seperti tulang belulang, pelepah kurma, batang pohon, dll, sehingga belum terkumpul menjadi satu seperti yang ada pada saat ini.

Abu Hafs, atau Umar bin Khattab lah pemilik ide brilian ini. Setelah kejadian yang berkecamuk di Yamamah yang menewaskan sejumlah penghafal al-Qur`an, terbesit dalam diri Umar untuk melakukan sebuah solusi dengan mengumpulkan lembaran-lembaran (al-Qur`an) itu menjadi satu, sebab jika tidak, satu persatu ayat Allah akan hilang dengan tewasnya para penghafal al-Quran.

Karena usai Rasulullah ﷺ wafat, penjagaan al-Qur`an tidak hanya dalam bentuk tulisan (hifz al-Kitabah), namun juga terjaga oleh sahabat di dalam hati mereka (hifz al-Sudur). Bahkan hafalan sahabatlah yang lebih dijadikan pacuan utama dalam penjagaan al-Qur`an pada masa itu, karena kita ketahui bersama karakteristik bangsa Arab yang sangat kuat dalam menghafal, termasuk nasab mereka yang senantiasa dipertahankan hingga anak-anak mereka. Jadi, meskipun al-Quran yang dalam bentuk tulisan itu ada di rumah Rasulullah ﷺ, namun hilangnya al-Qur`an di hati para penghafal al-Qur`an dianggap lebih berbahaya dari hilangnya tulisan dan lembaran itu.

Inilah mengapa Zaid bin Tsabit menerima riwayat Khuzaimah bin Tsabit seorang diri. Karena di samping tulisan itu, Zaid dan para sahabat lainnya pun sudah mengetahui bahwa apa yang dibawa oleh Khuzaimah merupakan ayat al-Qur`an. Karena hafalan sahabatlah yang lebih dijadikan acuan, adapaun tulisan hanya untuk memperkuat itu semua.

Akhirnya Umar pun mengajukan gagasannya kepada Abu Bakar Al-Shidiq yang menjadi khalifah saat itu agar dapat direalisasikan olehnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada awalnya Abu Bakar menolak ide ini dengan alasan Rasul belum pernah melakukan sebelumnya. Namun pada Akhirnya Allah pun melapangkan hatinya hingga ia benar-benar yakin bahwa apa yang akan dilakukan Umar merupakan perkara serius dan urgen bagi umat kedepannya. Akhirnya ia pun ditunjuk oleh Abu Bakar untuk menjalankan teknis agenda tersebut bersama Zaid bin Tsabit.

Meski dituntaskan oleh Usman bin Afwan hingga namanya kerap sekali disandingkan bersama mushaf (mushaf utsmani), namun —sebagaimana dalam pepatah—Umar lah yang mendapat sebuah keutamaan lebih, sebab ialah yang memulai dan menggagas ide ini. Kemuliaan itu berada pada orang yang mencetuskan, meskipun orang setelahnya dapat membuat hal yang lebih baik,” begitulah kurang lebih pepatah itu berbunyi.

Inilah Pelajaran yang bisa Dipetik

Terlepas dari sejarah pembukuan al-Qur`an yang sering sekali kita simak, penulis akan mengajak untuk sejenak merenungkan keputusan yang diambil oleh sosok Khalifah Umar bin Khattab. Secara tidak langsung kita dapat sama sama belajar akan pentingnya sebuah terobosan atau gagasan baru yang lahir dari sebuah intelektual yang matang. Yang mana gagasan ini tidak selalu berpaku pada teks, yakni seperti terbelenggu oleh teks keagamaan. Ini bukan berarti tidak mengikuti syariat, namun dalam artian jika suatu hal tidak dapat dibuktikan dengan teks keagamaan, maka hal tersebut tidak diperbolehkan oleh agama.

Karena jika kita perhatikan, apa yang dilakukan Umar bin Khattab ini sama sekali tidak ada ketentuan dari sumber teks keagamaan, baik al-Qur`an maupun perkataan Rasul ﷺ. Namun sang khalifah dengan cerdasnya dapat mengambil sebuah keputusan bahwa tidak semua yang tidak dilakukan nabi itu tidak boleh dikerjakan.

Dari sini kita belajar bahwa Umar bin Khattab tidak hanya mempelajari akan perkataan nabi—dalam hal ini adalah hadis—secara mentah atau tekstual, namun ia juga belajar dari metodologi yang senantiasa nabi terapkan dalam kehidupan bersama sahabat; dari kebijakannya, sikapnya ataupun caranya dalam mengambil sebuah keputusan. Sehingga meskipun belum dikatakan oleh Nabi, namun Umar yakin bahwa sekiranya Nabi ada tentu ia akan setuju dengan apa yang dilakukan olehnya. Inilah mengapa meskipun saat itu gagasannya ditolak oleh Abu Bakar dengan alasan belum dilakukan Nabi, Umar pun terus mendorongnya berharap bisa direalisasikan.Pemikiran seperti inilah yang membuat umat Islam berkembang. Mungkin kita bisa menyebutnya dengan ‘bid’ ah hasanah’ atau perkara baru yang dimunculkan dengan muatan manfaat dan ragam faedah.

Perhatikanlah, ilmu ilmu yang berkembang dalam Islam, seperti nahwu, mustolah hadis, ulumul quran, dll nya, apakah itu semua ada pada masa Rasul? Jika para ahli dan pakar pada masa itu hanya berpikir sempit dengan mengatakan ‘Nabi tidak pernah melakukannya’ maka aneka ilmu tersebut tidak akan pernah ada dan Islam tidaklah berkembang. Namun realitanya tidak seperti itu. Dan kalua bukan karena perjuangan mereka dengan ilmu yang dibuat mereka, niscaya hari ini kita akan lebih sulit untuk memahami ayat Allah dan Rasul-Nya.

Inilah mengapa Rasulullah ﷺ pernah mengatakan: “Hikmah adalah dambaan seorang mukmin, di mana pun dia menemukannya, maka dia lebih berhak atasnya (mengamalkannya).”Kita pun sering sekali mendengar sebuah pepatah Arab yang mengatakan: “Memelihara sesuatu yang lama yang masih baik, serta mengambil hal baru yang lebih baik.”Mencetuskan sebuah ide baru yang belum pernah ada—apalagi dalam masalah agama— atau bisa dibilang melakukan pembaharuan, itu bukan berarti merusak pondasinya.

Menurut seorang penulis tafsir al-Quran, hal ini ibarat merenovasi bangunan tanpa mengubah pondasi bahkan bentuknya. Hanya bagian lapuknya saja yang diganti dan ikatan-ikatan yang sudah longgar yang diperkuat. Sebab, kelak, demi kemasalahatan umat muslim, Khalifah Utsman pun membakar semua mushaf al-Qur`an yang ada, termasuk yang ada di rumah Rasulullah, dan menyiapkan mushaf baru untuk disebar. Mungkin inilah maksud dari kalimat ‘merenovasi tanpa menghancurkan pondasi’Dari sini kita kita pun dapat memahami bahwa Islam tidak selalu terikat dengan teks. Tidak benar apa yang dikatakan Nasr Hamid Abu Zaid bahwa Islam merupakan ‘peradaban teks’.

Yang benar, jika ada teks (nash) dan indikasi yang jelas (qot’iyy al-Dilalah) maka tidak ada pintu ijtihad di sana. Inilah mengapa para ahli fikih berijtihad dalam masalah cabang saja, bukan pada masalah pokoki. Adapun hal-hal yang tidak disebutkan oleh teks, namun terdapat indikasi kebaikan dan tidak membentur batas batas hukum syariat, maka itu termasuk diperbolehkan. Dalam ushul fiqih, kita mengenalnya dengan masolih mursalah. Dalam hal ini Nabi pun pernah bersabda:“Barang siapa yang melakukan suatu Sunnah (perbuatan) dalam Islam maka ia mendapat pahala sekaligus pahala orang lain yang mengamalkannya sampai hari kiamat.”

Jika Umar bin Khattab saja—yang dalam hal ini merupakan orang yang hidup pada masa terbaik —sudah mengerjakan hal demikian, ini berarti kita pun dituntut untuk seperti itu. Ini bukan masalah siapa kita dan siapa Umar bin Khattab. Derajat kita pasti beda. Coba kita ambil pesan di balik itu semua, yakni kembangkanlah apa yang sudah dibuat oleh para pendahulu kita. Inilah mengapa ulama-ulama dulu membuat syarh, hasyiyah, dan sebagainya, karena inign mengembangkan apa yang telah dibuat oleh pendahulunya. Jika pesan ini sampai di telinga setiap muslim yang berakal dan baligh, maka kita semua yakin peradaban Islam akan terus dan pasti maju dari peradaban lainnya. Wallahu alam bissowab.*